YOGYAKARTA – Kata “trauma” sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman menyakitkan yang meninggalkan bekas mendalam pada seseorang. Namun, di tengah masyarakat, muncul berbagai pandangan yang mempertanyakan apakah trauma itu sepenuhnya nyata atau hanya hasil pengaruh sosial dan sugesti.
Dalam ilmu psikologi, trauma diartikan sebagai respons emosional, fisik, atau psikologis terhadap pengalaman mengejutkan, menyakitkan, atau berbahaya. Trauma tidak hanya memengaruhi kondisi mental, tetapi juga dapat berdampak pada fisik dan perilaku penderitanya dalam jangka panjang.
Muh. Trisna Ami Jaya, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa trauma adalah gangguan psikologis yang bersifat klinis dan membutuhkan asesmen medis untuk memastikan diagnosis. “Trauma bukan istilah yang bisa digunakan sembarangan. Jenis trauma bervariasi, mulai dari akut, kronis, hingga kompleks. Gejalanya pun bermacam-macam, baik secara fisik seperti ketegangan otot atau sakit kepala, maupun psikologis seperti kecemasan dan depresi,” ungkapnya.
Trisna juga menyoroti fenomena trauma sekunder, yaitu kondisi di mana seseorang dapat mengalami gejala mirip trauma akibat mendengar kisah traumatis orang lain. “Jika seseorang memiliki pengalaman serupa, gejala trauma lebih mungkin muncul. Namun, jika tidak, reaksi yang timbul biasanya berupa ketakutan berlebihan atau penghindaran terhadap situasi tertentu,” jelasnya.
Trauma sering kali diperparah oleh lingkungan sosial yang tidak mendukung. Penilaian negatif dari orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman, dapat memperburuk kondisi penyintas. Sebaliknya, dukungan emosional dan empati dapat mempercepat proses pemulihan.
“Lingkungan sosial memainkan peran besar dalam membangun rasa aman bagi penyintas. Dukungan positif dari orang terdekat dapat mendorong mereka memiliki persepsi diri yang lebih baik,” tambah Trisna.
Trauma bukan hanya pengalaman emosional semata, tetapi kenyataan yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa trauma membutuhkan penanganan yang serius.
“Pendekatan yang bijak dan bantuan profesional sangat diperlukan. Trauma bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh, terutama jika gejala-gejala yang muncul sudah mengganggu aktivitas harian,” tegas Trisna.
Diskusi seputar trauma terus berkembang, tetapi satu hal yang pasti, dukungan dari lingkungan sosial dan akses ke layanan kesehatan mental yang memadai adalah kunci bagi penyintas untuk bangkit dari pengalaman traumatis mereka. (*)
Oleh: Muhammad Wahyu Ade Saputra